Lagi-lagi balik ke phonegraphy

Gambar: Viateknologicom

Dulu dipuja, kemudian diremehkan dan akhirnya balik dipuja-puji lagi.

Awal mula berkenalan dengan fotografi melalui hape Blackberry Gemini pada tahun 2011 silam. Kameranya yang sederhana sanggup menghadirkan sebuah gambar yang memiliki karakteristik dan cirikhas tersendiri. Bisa dibayangkan senja dengan warna merah merona yang tidak bisa ditangkap dengan kamera profesional justru bisa diambil dari sebuah hape jadul.

Nah, hobi fotografi tersebut semakin getol saat berganti hp ke Lenovo S820. Kala itu perangkat ini merupakan the bestnya kamera smartphone dengan 12Mpx disematkan di bagian belakang perangkat. Memotrek pun jadi makin pede saat berbaur dengan para pecinta phonegraphy yang jauh lebih mahir.

Phonegraphy merupakan aliran fotografi berbasis kamera hape. Phonegraphy  biasanya mengikuti genre fotografi pada umumnya, seperti landscape, slowshutter, portrait dan lain sebagainya. Yang paling populer adalah fotografi makro karena memiliki tingkat kesulitan yang tinggi, maka tantangannya pun sangat tinggi.

Berbeda dengan fotografi profesional menggunakan DSLR, phonegraphy memiliki berbagai kekurangannya sendiri. Kebanyakan kamera ponsel memiliki pengaturan manual hingga mode profesional terbatas. Maksud dari terbatas disini adalah pengaturan sederhana yang tidak memungkinkan kita untuk mengeksplorasi kemampuan kamera ponsel dengan maksimal.
Dibutuhkan aplikasi pihak ke-3 untuk mengakomodasi keinginan para pecinta phonegraphy agar memiliki foto yang lebih berkualitas, tentunya dengan berbagai penyesuaian yang ribet.

Nah, kegiatan mengutak-atik pengaturan inilah yang terkadang bikin saya merasa malas. Semenjak beralih ke DSLR saya cukup jarang mengikuti event phonegraphy. Jawabannya tentu saja masalah kualitas foto yang sudah tidak diragukan lagi. Penggunaan kamera hape telah bergeser dari hobi menjadi sekadar dokumentasi kantor, karena urusan seni, DSLR lebih bisa diandalkan.

Nah, pada bulan juni 2017 lalu sebagai blogger saya diundang ke acara lounching Nubia M2 di Bistro Rumahan jl Teuku Umar Denpasar. Pada acara tersebut saya dibuat terkaget-kaget dengan tagline Mobile Photography Expert yang diusungnya. Dalam hati tentu saja sedikit meremehkan, karena ini adalah genre yang sudah lama saya tinggalkan.



Mobile Photography Expert, se expert apa sih?

Saat Mr.Mike mempresentasikan foto-foto yang diambil menggunakan Nubia, saya sedikit speechless. Secara otomatis otak memproses gambar dan memperkirakan berbagai pengaturan yang dipakai, mulai dari ISO, fokus lensa, keseimbangan warna dan lain sebagainya. Hal-hal yang sudah menjadi "makanan" sehari-hari saat masih giat berkecimpung dalam dunia fotografi ponsel.

Saya dibuat terbelalak saat tayangan slide berubah ke menu kamera family. Pada menu ini berjejer rapi berbagai genre fotografi yang disebut sebagai "Fitur DSLR" dalam menu ini terdapat berbagai menu fotografi ribet seperti trail, melukis cahaya hingga mode memotret star trail yang terbagi menjadi lusinan ikon yang bisa dipilih sewaktu-waktu.
Kupret!! Batin saya, mode pengambilan gambar yang dulu dipelajari mati-matian kini benar-benar disederhanakan oleh nubia, bahkan pemula pun bisa melakukannya.

Salah satu fitur yang menurut saya paling keren adalah area fokus yang bisa diatur sendiri pada mode pro. Fitur ini berupa garis dan titik merah yang disesuaikan dengan objek yang membantu mata kita untuk mengetahui letak fokus itu berada. Tidak hanya sampai disana, kita juga dapat mengatur bokeh secara manual bahkan setelah dijepret pada mode portrait. Keren banget kan..

Berbagai fitur DSLR yang dihadirkan Nubia sangat sukses bikin ngiler. Pada bulan juli 2017 lalu dengan senang hati penulis menerima pinangan Nubia untuk mencoba mengekplorasi lebih jauh kemampuan kamera hape ini. Sayangnya di bulan-bulan ini angin cukup kencang dan awan berjejer rapi menutup langit, hal tersebut menyulitkan saya untuk mencoba memotret bimasakti dan startrail. Cuaca seperti ini mah cocoknya buat bikin timelapse.



Komentar