Disuatu hari, alarm menyala menunjukkan pukul 5 pagi, tanda untuk memulai aktifitas rutin setiap harinya.
Sambil menguap, korden disingkap tampak hujan rintik-membasahi dedaunan yang berada diluar pagar beton. Wah celaka, berangkat kerja nanti sambil kehujanan nih, pikir saya.
Satu setengah jam berlalu, rupanya hujan tak jua reda, maka jarak tempuh 62km diawali dengan siraman dingin dikala itu, demi menjalankan tugas, abdi negara didaerah Kintamani, Bali.
Seragam telah rapi dipakai, celana panjang dinaikkan sebatas lutut demi menghindari basah akibat cipratan kubangan dijalanan, berikutnya mantel jaket dan celana membungkus seragam kebanggaan, melindunginya dari hujan didaerah denpasar, bahkan mungkin didaerah lain yang dilalui hingga kekantor.
Perjalanan pun dimulai, jalan demi jalan disusuri, namun celaka, jaket ketinggalan dikos, dan itu artinya kerja didaerah pegunungan tanpa dilindungi jaket dari terpaan angin dingin pegunungan. Nasib orang pikun.
Well, cerita dimulai setelahnya, jam menunjukkan akhir pelayanan dihari itu. Langit cerah, anginpun sudah tidak menusuk kesumsum. Balik ke daerah panas tanpa jaket dan selop tangan(sayangnya selop tangan berada di saku jaket yang tertinggal), bisa jadi masalah besar, lengan menghitam disengat matahari.
Untungnya saya adalah tipe pekerja lapangan, pekerja yang biasa memutar otak untuk melakukan pelayanan seoptimal mungkin bahkan disaat minim sarana dan prasarana sekalipun. Bagi saya dalam situasi apapun pepatah ini selalu berlaku,
tiada rotan akarpun jadi. Tiada jaket, mantel jaket pun jadi.
Iya, mantel jaket. Mantel yang seharusnya dipakai dikala hujan, harus dipakai disaat terik matahari.
Masalah jaket teratasi, masih ada satu hal genting lainnya. Tiada sarung tangan,
handschoen pun jadi.
Iya, handschoen. Sarung tangan dari latex putih yang biasa dipakai petugas Rumah Sakit dan Puskesmas.
Jadi, diterik matahari pakai mantel jaket dan handgloves? PD aja lagi, yang penting terlindungi.
See.. tiada rotan, akarpun jadi.
Balik ke daerah denpasar, lampu merah menyala di sanur tepatnya perempatan dekat hotel
balibeach. Pada indikator, suhu menunjukkan angka 41 derajat celcius. Sumpah gerah banget, keringat membayang di handgloves, rupanya dikiri dan kanan tampak pengemudi lain melirik. Aneh ya? Tumben liat orang aneh pakai handgloves dan mantel jaket disiang bolong.
Buth do i care about what u think of me?
Silakan berfikir yang bukan-bukan, yang penting saya terlindungi dari sengatan langsung matahari.
Reader yang budiman, ada kalanya kita harus memilih antara
style dan keselamatan, tidak seperti gadis-gadis SMU yang lebih memilih basah karena hujan tapi memakai jaket pink unyu ketimbang pakai mantel hujan yang disimpannya dibawah alas kaki motor maticnya (itu sering saya lihat dalam perjalanan pulang ngantor dikala hujan), ataupun memilih menggunakan helm bogo yang keamanannya minim ketimbang helm-yang dianggapnya-astronot dgn tingkat keamanan jauh lebih baik.
Yang terpenting adalah keselamatan dalam berkendara dijalan, bukan style. Jika perlengkapan membuat anda aman, mengapa harus memilih style yang membuat nyaman tapi kurang aman?
Jika bisa pakai mantel jaket dibawah terik matahari, kenapa mesti ga pakai pelindung dgn alasan malu dicap aneh?(walau intinya akibat lupa bawa jaket).
Maka lebih baik terlindungi walau menggunakan peralatan yang bikin malu ketimbang tidak sama sekali.
What about you?
Memang Safety harus lebih diutamakan bro, walau jarak tempat kerja saya ga jauh sekitar 3km ke Kantor Camat dari rumah, minimal jaket dan helm slalu digunakan apalagi kalau hujan, ya jass hujan wajib dipakai, begitu juga saat Touring Bersama Club Vixion Jembrana minimal Spatu, Jaket, Sarung tangan, helm, dan pelindung lutut itu wajib..
BalasHapusHarusnya sih memang gt bro, jarak dekat bukan alasan buat ga pakai helm. Pelindung yg seperti itu selain buat keselamatan, juga melindungi wajah dari debu, mengindari kelilipan dijalan saat berkendara.
Hapus